INDRALAYA-Desa Tanjung Dayang di Kabupaten Ogan Komering Ilir, Sumatra Selatan, memiliki keunikan tersendiri. Sebab semua warganya memiliki mata pencaharian sama, yaitu menjadi pandai besi. Bahkan produk-produk yang dihasilkan seperti parang, arit, dan golok tidak hanya pakai sendiri, namun sudah diekspor ke negara tetangga seperti Malaysia dan Thailand.
Soal membuat benda-benda yang banyak dipakai petani itu, baru sedikit pandai besi di desa berpenghuni 400
keluarga ini yang tersentuh modernisasi. Asmawi, misalnya. Di bengkelnya yang lebih mirip gubuk ini masih menggunakan cara-cara tradisional. Bahkan mesin las milik Asmawi masih menggunakan las karbit yang dipompa melalui genjotan kaki. Asmawi mempekerjakan tiga pandai besi di bengkelnya. Masing-masing pekerja itu mendapat upah Rp 20 ribu per hari.
keluarga ini yang tersentuh modernisasi. Asmawi, misalnya. Di bengkelnya yang lebih mirip gubuk ini masih menggunakan cara-cara tradisional. Bahkan mesin las milik Asmawi masih menggunakan las karbit yang dipompa melalui genjotan kaki. Asmawi mempekerjakan tiga pandai besi di bengkelnya. Masing-masing pekerja itu mendapat upah Rp 20 ribu per hari.
Asmawi menuturkan, pengadaan bahan baku menjadi soal bagi para pandai besi di Desa Tanjung Dayang. Kebanyakan dari mereka memakai bekas per mobil, tidak memakai besi lempengan buatan pabrik baja. Pasal, bila memakai besi lempengan buatan pabrik baja, harga jual kepada petani menjadi mahal. Artinya, produksi mereka seret dibeli. "Biasanya, satu kodi besi bekas per mobil dibeli seharga Rp 100 ribu. Dari jumlah itu, paling hanya bisa dibuat sebanyak 30 buah arit atau parang," tutur Asmawi.
Menurut dia, satu kodi parang atau arit yang sudah selesai dibuat dijual dengan harga Rp 100 ribu kepada pedagang atau pengumpul. Untung yang agak besar bisa didapat kalau mereka mendapat order membuat dodos atau alat untuk memotong tandan sawit. Biasanya, pemesan alat tersebut adalah perkebunan sawit di Malaysia atau Thailand. Pada tahun silam, sebanyak empat kontainer yang berisi dodos diekspor ke negara tetangga. Sedangkan untuk arit dan parang, mereka biasa bermain di pasar lokal seperti Jambi, Bengkulu, Lampung, dan Riau. Sebab alat-alat ini umumnya digunakan oleh petani kopi di Sumatra bagian selatan.
Namun tak seluruh pandai besi di desa tersebut mengikuti cara Asmawi. Haji Bakar, misalnya. Haji Bakar adalah contoh lain dari warga Desa Tanjung Dayang yang memiliki mesin agak moderen. Dia memodifikasi alat pemarut kelapa menjadi alat penyepuh besi. Dengan alat ini, kapasitas produksi milik Haji Bakar tercatat paling besar di desanya. Dia bisa memproduksi 200 kodi parang, golok, dan arit dalam sebulan.
Kini Haji Bakar menjadi contoh dari pandai besi yang sukses di Desa Tanjung Dayang. Sayangnya, permintaan yang tinggi terhadap hasil pandai besi di desa ini terhambat masalah dana. Ironisnya, tak ada bank yang mau memberikan kredit karena melihat barang yang dihasilkan hanyalah peralatan kebun seperti arit dan golok.
Untungnya, mereka tak pernah bergantung dari pinjaman modal. Kiat yang mereka lakukan untuk memutar modal usaha adalah meminta pedagang atau ekportir dodos membayar 50 persen uang muka per jumlah pesanan. Jadi, bila 400 keluarga pandai besi di desa ini berhasil, itu berkat usaha mereka yang pandai menyiasati keadaan.
No comments:
Post a Comment